Penyuka film bergenre sains-fiksi tentu tak asing lagi dengan tema apocalypse sebagai tanda akhir dari bumi. Akan tetapi, ada sesuatu yang berbeda dari film sains-fiksi berjudul Ender’s Game yang satu ini. Bercerita tentang tokoh utama bernama Ender Wiggin yang diperankan oleh Asa Butterfield, film ini lebih terfokus pada kemelut dalam pikiran tokoh utama itu sendiri.
Berawal ketika bumi diserang oleh Formics, alien yang membawa bencana besar karena membunuh banyak manusia demi mencari sumber air, umat manusia mulai mendirikan sekolah berbasis militer sebagai sarana pelatihan kader-kader yang nantinya akan menumpas alien tersebut. Ender, termasuk salah satu kader dalam pelatihan itu.
Sosoknya yang jenius, selalu dibayang-bayangi oleh kegagalan kakaknya untuk masuk ke dalam pelatihan khusus. Ia tidak percaya diri akan kemampuannya. Namun, di satu sisi, Kolonel Graff (diperankan oleh Harrison Ford) menyatakan bahwa Ender merupakan sosok yang paling tepat untuk memimpin penyerangan ke planet kediaman Formics.
Ketika mendapatkan tawaran dari Kolonel Graff untuk masuk ke pelatihan khusus, Ender tanpa ragu menjawab ‘Ya!’ sebagai pembuktian bahwa ia bisa melebihi kakaknya. Perjalanannya dimulai ketika ia masuk ke dalam pelatihan khusus tersebut.
Ia dianggap kader jenius oleh guru-guru yang mengajarnya, tetapi dianggap sebagai sosok arogan oleh teman-teman seangkatannya. Kepercayaan dari rekan-rekannya muncul ketika Ender membalas perlakuan buruk Bernard (diperankan oleh Conor Carroll) yang menghina Alai (diperankan oleh Suraj Parthasarathy).
Sosoknya yang memiliki pola pikir unik dan sukar menghormati atasan, menjadi masalah yang cukup besar ketika ia dipindahkan ke tim Salamander yang dipimpin oleh Bonzo Madrid (diperankan oleh Moises Arias).
Bonzo terang-terangan menolak kehadiran Ender di timnya. Namun, ada sosok Petra Arkanian (diperankan oleh Hailee Steinfled) yang menjadi tutor sekaligus rekan baru Ender dari tim Salamander.
Karena Ender sukar untuk menghormati atasan, Kolonel Graff mengangkatnya sebagai pemimpin dari tim Dragon yang telah lama mati. Ia dipercaya untuk memimpin tim yang berisi anak-anak pilihan itu untuk mendapat peringkat tinggi.
Berkat pola pikirnya yang unik, tim Dragon berhasil menjadi peringkat pertama dalam pelatihan. Hal ini membuat Bonzo geram hingga terjadi insiden pertengkaran yang membuat Bonzo gegar otak.
Kemelut di hati Ender membesar akibat peristiwa itu. Ditambah lagi, ia tak pernah mendapat balasan email dari saudarinya, Valentine Wiggin (diperankan oleh Abigail Breslin). Ia ingin berhenti dari pelatihan, tetapi Kolonel Graff meyakinkan bahwa ia adalah sosok yang dicari oleh petinggi-petinggi militer. Setelah bertemu saudarinya, Ender meyakinkan diri untuk masuk ke sekolah komandan.
Di sekolah ini, ia bertemu dengan Mazer Rackham (Ben Kigsley) yang disadur-sadur sebagai pahlawan umat manusia. Ender menjadi satu-satunya orang yang berhasil menebak bahwa terdapat pola tertentu dari pergerakan Formics setelah melihat tayangan video dari Mazer yang menabrakkan pesawatnya ke koloni alien tersebut.
Yang tak ia sangka adalah, ia berlatih simulasi di sekolah komandan bersama rekan-rekan yang ia kenal dari pelatihan khusus. Hampir semua simulasi yang ia lakukan membuahkan hasil yang memuaskan. Namun, di kali pertama ia kalah, Kolonel Graff dan Mazer Rakham langsung marah besar terhadapnya. Rasa sakit hati itu mendorong Ender untuk berbuat gila pada simulasi terakhirnya dalam melawan Formics. Ia, Ender, lebih memilih menghancurkan seluruh planet daripada sekadar membunuh ‘Ratu’ dari koloni alien tersebut.
Tepuk tangan yang meriah ia terima dari para petinggi militer. Awalnya, ia bangga terhadap dirinya sendiri. Namun, ketika ia ditunjukkan gambar planet Formics yang tadi ia serang, Ender merasa ia sudah ditenggelamkan dalam jurang.
Uniknya, film yang disadur dari novel karya Orson Scott Card ini sama sekali tak menunjukkan karakter ‘hero’ yang bangga bahwa ia telah menumpas musuh hingga tuntas. Sebaliknya, film ini menunjukkan emosi nyata dari tokoh utama yang malah mempertanyakan adanya invasi dari makhluk asing. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul di kepalanya membuat hatinya terusik sehingga mempengaruhi keadaan psikologisnya.
Ender Wiggin yang masih remaja menunjukkan sifatnya yang ‘manusiawi’ sekalipun ia termasuk dalam jajaran orang jenius. Ia memiliki emosi yang rumit akibat dari lingkungan tempat ia tumbuh dan berkembang. Tokoh utama dalam film fiksi ini bukanlah sosok yang sempurna. Ender sempat menjadi pengecut, penakut, paranoid, hingga sifat pembangkang ala remaja. Namun, character development dari film ini mengalami perubahan ke arah positif dengan cara yang ‘halus’.
Tak hanya fokus pada penumpasan musuh, film yang digawangi Gavin Hood ini menonjolkan sisi-sisi yang terlupakan dari kebanyakan film sains-fiksi lainnya. Penonjolan emosi dari tokoh utama membuat film ini membawa penonton pada sudut pandang lain serta dapat membuka pola pandang baru yang dapat diterapkan dalam kehidupan nyata.
Jadi, bagaimana penikmat film? Ingin mencoba menonton film ini juga? (Nara)